Salah satu slogan paling omong kosong yang saya dengar berkali-kali selama beberapa bulan terakhir ini adalah: "Mari kita kembali menyadari bahwa tanggung jawab dalam mendidik anak-anak ada di tangan kita, para orangtua."
Anda menyangkal kalau itu omong kosong? Oke. Kita buka dulu peta kecil permasalahannya.
***
Konteks ceritanya pasti sudah Anda pahami. Selama masa pandemi ini, anak-anak sekolah diminta bersekolah dari rumah. Dengan Google Classroom, Whatsapp, dan jalur-jalur daring lainnya. Nah, selama proses mendampingi anak-anak, banyak orangtua yang kewalahan, gagap, lalu meratap-ratap.
Kemudian datanglah para duplikat Kak Seto dan Mario Teguh. Mereka menebarkan nasihat bahwa sudah seharusnya para orangtua berperan sebagai guru sejati bagi anak-anak. Sekilas nasihat itu arif bijaksana dan seratus persen benar adanya. Tapi kalau kita kuliti pelan-pelan, realitasnya akan beda, sebab ada satu hal yang perlu kita bongkar dari kata "mendidik".
Nafsu saya untuk membongkar makna kata itu muncul gara-gara beberapa malam yang lalu saya terpaksa lembur. Bukan untuk bekerja atau nonton Netflix, melainkan untuk membantu anak saya memahami apa itu KPK dan FPB dalam pelajaran Matematika Kelas 5, lalu mengajarkan cara cepat menemukan KPK dan FPB untuk beberapa bilangan rumit.
Kepala saya langsung cenut-cenut, vertigo seketika. Dalam sejarah hidup saya, belum pernah saya paham apa itu KPK dan FPB. Matematika adalah monster yang merampas kebahagiaan masa kecil saya, juga masa kecil jutaan anak-anak lain dengan kecerdasan numerik kelas kambing semacam saya.
Lantas muncul berondongan pertanyaan di palung kegelisahan saya: Apakah saya tidak bisa mendidik anak saya? Apakah kalau saya tidak bisa mengajarkan KPK dan FPB, berarti saya tidak bisa mendidik anak saya? Apakah ketidakpahaman saya akan KPK dan FPB bermakna kegagalan saya sebagai orangtua? Bukankah kata orang-orang bijak di medsos itu orangtua adalah guru yang sesungguhnya, sehingga semestinya saya paham segala pelajaran sekolah anak saya?
Sampai di pertanyaan terakhir itu, saya jadi ragu. Orangtua adalah guru? Masa sih? Guru dalam porsi seberapa?
Mendidik dalam makna luas memang kewajiban orangtua. Orangtua sudah mau beranak-pinak, ya konsekuensi logisnya mereka harus mau menghidupi dan mengajari anak-anak agar mereka menjadi manusia. Pada titik itu saya sepakat.
Tapi sekali lagi, itu mendidik dalam makna luas. Dalam makna paling hakiki. Bagaimana mengajari anak-anak tentang baik dan buruk, mengajari anak mengatasi masalah hidup, mengajarkan jiwa mandiri dan bertanggung jawab, mengajarkan sikap welas asih, rajin-terampil-dan-gembira, hemat-cermat-dan-bersahaja, dan deretan nilai-nilai universal lainnya.
Adapun untuk urusan "mendidik", bagaimana bisa Anda yakin bahwa itu satu hal yang pada hari ini bisa begitu saja ditimpakan di ubun-ubun para orangtua?
Begini maksud saya. Sudah sejak sangat lama masyarakat kita masuk ke peradaban pendidikan formal bernama sekolah. Paling tidak telah hampir setengah abad program Wajib Belajar diterapkan bagi semua-mua anak di Indonesia. Bersama program itu, model sekolahnya seperti apa, model kurikulum pengajarannya seperti apa, model kemampuan guru-gurunya seperti apa, jam belajarnya seberapa lama, semua sudah distandarkan, diseragamkan, dan tentu saja "dipaksakan".
Dengan standar-standar itu, para orangtua tereksklusi dari sistem dan tradisi baru. Tercerabutlah kita dari tradisi mendidik anak sendiri, yang dulu pernah kita miliki. Hilanglah kemampuan kita untuk mendidik anak-anak kita sendiri. Semuanya berjalan seiring dengan arus lazim masyarakat industrial yang memaksa para orangtua pergi bekerja, ke pabrik-pabrik, ke perusahaan-perusahaan, ke kantor-kantor, dengan jam kerja tertentu, dan jam kerja itu berbarengan dengan waktu anak-anak bersekolah.
Selama berpuluh-puluh tahun, menyekolahkan anak ke sekolah formal bukan lagi sebatas pilihan. Ia adalah kewajiban, yang didukung oleh lingkungan yang melahirkan tekanan-tekanan.
Orang harus mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah. Itulah syarat kelaziman kalau kita ingin terlihat waras dalam bermasyarakat. Orang yang tidak mau mengirim anak-anaknya ke sekolah, atau minimal ke sebuah sistem sekolah (homeschooling sekolah juga, kan?) bakalan tampak sebagai manusia uncivilized. Ia wajib disadarkan. Mulai Pak Lurah hingga Pak Babinsa akan datang membujuknya, agar mendaftarkan anaknya masuk ke sekolah desa.
Kita sudah tertelan dalam gelombang besar penyeragaman. Sudah sangat lama kita tak lagi sungguh-sungguh paham bahwa mendidik bukan cuma urusan sekolah. Masyarakat dan pergeseran peradaban telah mengambil alih, bahkan merampas pelan-pelan hak penuh orangtua untuk mendidik anak-anaknya sendiri.
Akibat penyeragaman itu, sampai-sampai kita mengidentikkan kata "pendidikan" dengan sekolah formal. Coba kita tes. Setiap kali kata itu muncul, apa yang terlintas di kepala Anda? Apakah visualisasi seorang ibu yang sedang menasihati anaknya? Nehi. Pasti yang nongol adalah gambaran suasana pelajaran di kelas-kelas, di sekolah-sekolah, di kampus-kampus universitas. Iya, kan? Sudahlah, jujur saja.
Tentu gambaran otomatis semacam itu wajar belaka. Sebab, memang nyaris satu-satunya lembaga pendidikan wajib yang kita kenal sejak kita lahir, satu-satunya referensi kita atas sistem dan tradisi pendidikan, ya cuma sekolah formal. (Memang ada lembaga pendidikan tradisional semacam pesantren, tapi toh pola pergeseran tanggung jawab pendidikannya sama saja.)
Ini mirip dengan dunia kesehatan. Sudah puluhan tahun kita menyerahkan hak pengelolaan kesehatan kepada dokter dan rumah sakit. Dalam norma dan kesepakatan baru di peradaban modern ini, orang yang sakit tapi tidak percaya dokter akan dianggap terbelakang dan tidak beradab.
Kemudian suatu hari, dokter dan rumah sakit sama sekali tidak bisa diakses. Seseorang sakit perut, lalu Anda menyalahkan orang itu karena dia tidak paham bagaimana cara mendiagnosis sakit perutnya dengan standar-standar ilmu kedokteran modern.
"Mari kembali kepada kesadaran bahwa kita adalah dokter bagi diri kita sendiri," kata Anda dengan tenang, sambil tersenyum bijak sekali.
***
Jangan salah paham, saya tidak hendak mengatakan bahwa sekolah formal itu tak penting. Tentu penting, dan anak saya pun saya sekolahkan. Yang bikin saya gatal hanyalah tudingan "tidak bisa mendidik anak", padahal dalam jangka waktu sangat lama aktivitas mendidik anak sudah didominasi oleh sebuah produk peradaban modern yang mengaburkan gambaran luas tentang pendidikan.
Di saat yang sama, kita disalahkan karena seolah lupa cara memberikan pendidikan kepada anak, padahal standar pendidikan yang dimaksud di situ adalah standar formal yang memang tidak pernah kita kuasai, dan mustahil semua orangtua menguasai.
"Halah, bilang aja kamu stres nggak bisa Matematika! Kebanyakan alasan aja!"
Hehehe, iya juga sih. Kok kamu tahu?
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)https://ift.tt/3lHl7pK
0 comments:
Post a Comment